Minggu, 18 Oktober 2009

SAATNYA YANG MUDA BEREKSPRESI

Catatan dari Temu sastra dan Peluncuran Buku “Dunia X”
Oleh : Fredy Sreudeman Wowor

Sebuah iven kebudayaan kembali dilakukan di Sonder-Minahasa. Puluhan anak muda yang berasal dari organisasi-organisasi budaya yang ada di seluruh wilayah Manado dan Minahasa seperti Sanggar Dudoku Wuwuk, Teater Ungu Unima Tondano, Komunitas Pekerja Sastra Sulut (KONTRA), Komunitas SoeSube Koha, Teater Kronis Fakultas Sastra Unsrat Manado, Teater Eben Haezer Treman, Rumah Seni Klabat Maumbi berkumpul di Studio X Sonder. Mereka datang menghadiri undangan untuk mengikuti Temu Sastra dan Peluncuran Buku berjudul Dunia X karya Kevin M. Eman, Karina J. Eman, Jacklyn L. Igir, Deibi Igir dan Karlita Eman.
Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 2 September 2005 dan dimulai sekitar jam 3 Sore diawali dengan doa syukur oleh Eldis Kaunang Bendahara Studio X dan dilanjutkan dengan peluncuran buku serta diskusi sastra. Acara berakhir pukul 17.30 WITA.
Dalam diskusi yang bertema “Saatnya yang muda berXpresi” ini, Greenhill Glanvon Weol,S.S. yang menjadi pembicara utama mengatakan bahwa,”Sekarang adalah waktunya bagi kita kaum muda untuk dengan sadar mengambil bagian secara aktif dalam meletakkan dasar bagi pertumbuhan kebudayaan bangsa Minahasa. Kehadiran buku antologi sastra berjudul Dunia X karya beberapa anggota Studio X ini sadar tidak sadar telah ikut memberikan landasan bagi eksistensi kesusastraan kita. Tanpa sastra pertumbuhan budaya kita akan mengalami kepincangan.Memang, sudah saatnya Muda Minahasa berekspresi”, tambahnya berapi-api. Selain ini, pembicara juga mengemukakan betapa pentingnya pembangunan basis kebudayaan serta penggalangan jaringan antar organisasi budaya yang telah ada dan secara lebih khusus mengenai isi buku dunia X ,ia mengemukakan bahwa,” kehadiran beberapa karya di dalam buku ini terutama cerita pendek dan drama telah menjadi pelopor bagi kehadiran sebuah genre yaitu cerita misteri sebab sepanjang beberapa dasawarsa sejarah kesusastraan di Sulawesi Utara hampir tidak ada karya cerita misteri yang dituliskan apalagi dibukukan.”.
Ivan Susilo ketua Teater Ungu Unima mengatakan bahwa kehadiran buku Dunia X ini benar-benar merupakan provokasi bagi mereka untuk berperan lebih aktif dalam aktifitas penciptaan terutama dalam penciptaan karya sastra.
Jenry Koraag dari Teater Kronis juga menegaskan bahwa kehadiran para penulis “Dunia X” ini adalah sebuah tamparan yang sangat keras bukan Cuma bagi dia pribadi dan kita semua yang hadir dalam kegiatan ini tapi terlebih bagi mereka kaum tua yang Cuma sibuk mendongengkan masa lalunya. “Bayangkan!”, katanya,”Mereka yang menulis Dunia X ini sekarang baru berumur antara 12-16 tahun !”.
Selain membicarakan tentang buku Dunia X dan maknanya bagi pembangunan kesusastraan di Minahasa dan Sulawesi Utara, diskusi ini juga menjadi media tukar pendapat mengenai problem-problem organisasional dari organisasi-organisasi budaya yang hadir.
Vandy Rompas dan Calvein Wuisan—Ketua dan sekretaris Sanggar Dodoku Wuwuk Minahasa Selatan mengemukakan hal yang kurang lebih sama mereka alami yakni adanya pihak-pihak tertentu yang dengan banyak cara berusaha menghalangi keterlibatan mereka dalam berkesenian dan berorganisasi.
Stevie Rampengan dari Komunitas SoeSube Koha juga mengatakan bahwa mereka pun harus berhadapan dengan tantangan-tantangan terutama dari masyarakat sekitar yang dengan apatis menganggap bahwa kegiatan mereka hanyalah kegiatan membuang waktu dan tidak bisa mendatangkan uang.
Melisa Pinaria dari Rumah Seni Klabat Maumbi mengatakan bahwa tantangan terbesar bagi mereka justru karena mereka itu perempuan. Karena bagi banyak orang kegiatan berkesenian kurang baik bagi perempuan. Bukankah pulang larut malam atau menginap di luar rumah tidak baik bagi perempuan ? Demikian mereka bilang.
Adapun Karina J.Eman dari Studio X mengatakan bahwa problem terbesar mereka salah satunya adalah ketika mereka dilarang menampilkan karya mereka di hadapan publik yang lebih luas. Ini dikatakannya berdasarkan kenyataan yang telah dialaminya bersama kawan-kawan di Studio X. Entah berapa kali mereka dilarang pentas terutama di gereja semata-mata karena alasan seperti lagu yang akan dipakai mengiringi tarian bukanlah lagu “Rohani”. Lagu “Rohani” kan harus halus dan lemah lembut kata mereka. Pada hal lagu yang kami pakai jelas-jelas diambil dari sebuah album lagu rohani yang lagi populer.
Bertolak dari persoalan-persoalan yang telah dikemukakan di atas, penulis menyimpulkan bahwa: Pertama, perlu adanya keterbukaan dalam masyarakat dalam memahami arti kehadiran dari organisasi-organisasi budaya yang dipelopori oleh kaum muda ini agar supaya benih-benih konservativisme yang telah bertumbuh selama berpuluh tahun ini tidak terus menghalangi kemajuan peradaban kita. Kedua, Harus terus ada keyakinan dan keberanian dalam diri setiap kreator untuk melintasi batas-batas yang ada dalam diri maupun di luar diri sebab hanya dengan dasar inilah kita bisa terus mencipta dan menghasilkan karya yang nyata. Ketiga,masalah pelarangan adalah tantangan yang harus dialami setiap kreator. Ini akan mendorong dia untuk terus maju dan tidak ada pilihan lain bagi kita untuk maju selain terus Belajar, Berkarya dan Berorganisasi. Baik atau buruk adalah soal penilaian. Dan penilaian hanya dapat diberikan bila sesuatu telah dibuat. Jadi bukankah mereka yang dinilai hanyalah mereka yang telah berbuat sesuatu ?!
Dari balik bilik Greenhaus di Welong Abadi, Touna’as.
Metoop oka ke e....

Pertama kali dipublikasikan
Di Jurnal Tou’naas, edisi 1 Oktober 2005

Tidak ada komentar: