Minggu, 18 Oktober 2009

MENGGLOBALKAN LOKALITAS*

Oleh : Fredy M.S.B. Wowor**
I

9 November 1989.
Tembok Berlin yang memisahkan Jerman Timur yang Komunistik dan Jerman Barat yang Kapitalistik berhasil diruntuhkan. Peristiwa ini menjadi titik tolak paling mendasar dari munculnya gelombang perubahan yang bukan cuma mengubah wajah Eropa tetapi juga dunia. Perang Dingin yang telah menghantui dunia dengan ancaman perang nuklir selama puluhan tahun akhirnya berhasil dimenangkan oleh kaum kapitalis.
Kemenangan ini melandasi ekspansi besar-besaran kapital dan komoditi ke Negara-negara dan wilayah-wilayah yang dahulu berada di dalam wilayah komunis dan dunia ketiga. Ekspansi inilah yang sekarang kita kenal dengan dalih “Liberalisasi Pasar” atau dalam bahasa kerennya “Neoliberalisme”.
11 September 2001, Menara kembar World Trade Center (WTC) hancur ditabrak oleh pesawat yang dikendalikan oleh “Para Teroris”. Peristiwa ini memicu tindakan kekerasan berwujud perang besar-besaran terhadap kaum teroris dan Negara-negara tertentu yang dianggap menjadi pelindung organisasi-organisasi teroris tersebut. Hasilnya : Afganistan dan Irak hancur. Islam jadi tertuduh.
Munculnya “Islam” sebagai salah satu peradaban yang menjadi lawan Amerika yang Kristen dan bangkitnya Cina – Sang Naga yang Konfusianis– dari tidur panjangnya seolah-olah menjadi pembenar dari Tesis Samuel P. Huntington yang menyatakan bahwa pasca perang dingin, dunia akan terbelah akibat benturan antar peradaban (The Clash of Civilizations)
Di berbagai wilayah Repoblik Indonesia terjadi sengketa antar bangsa dan agama yang telah mengakibatkan kehancuran infrakstruktur yang tidak dapat lagi dihitung nilainya dan pada sisi lain telah mengakibatkan kematian dan degenerasi.

II

Sulawesi Utara berada pada posisi yang sangat strategis karena berada di tepian Pasifik dan langsung berbatasan dengan Philipina yang menjadi salah satu pangkalan militer Amerika di Asia Tenggara. Selain itu jarak antara Sulawesi Utara dengan jepang dan cina tidak terlalu jauh. Kenyataan ini bermakna bahwa Sulawesi Utara langsung berada di pusat pertarungan kepentingan politik-ekonomi dan kebudayaan dunia.
Bila kita melihat kembali ke belakang maka kondisi kita pada hari ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi kurang lebih 500 tahun yang lalu.
Pada sekitar tahun 1500-an, Sulawesi Utara juga telah menjadi pusat pertarungan politik global yaitu Spanyol yang berpangkalan di Philipina, Portugis yang berpangkalan di ternate dan malaka, serta VOC yang berpangkalan di Batavia dan setelah berhasil mengalakan Kerajaan Islam Gowa-Tallo berpangkalan di Makasar.Inggris juga pada akhirnya terbukti ikut memperebutkan Sulawesi Utara seiring terjadinya perubahan politik di eropa, ini bisa dibuktikan dengan keterlibatan mereka yang intens melawan VOC dan Pemerintah Hindia Belanda di Perang Tondano dengan menjadi pemasok senjata bagi para gerilyawan Minahasa.
Berada di titik pusat pertarungan kekuatan global ini ternyata tidak menjadikan Sulawesi Utara lenyap dari pusaran sejarah karena dilindas berbagai kepentingan, sebaliknya sejarah membuktikan bahwa bangsa Asia pertama yang berhasil menaklukan salah satu kekuatan global yang sangat dominan pada waktu itu yaitu Spanyol adalah salah satu bangsa yang ada di Sulawesi Utara. Bangsa itu adalah bangsa Minahasa. Peristiwa ini dalam sejarah Minahasa dikenal dengan Perang Kali, terjadi sekitar pertengahan tahun 1600-an.
Terlepas dari adanya konfrontasi terhadap kekuataan politik global ini, bangsa-bangsa di Sulawesi Utara juga terbukti melakukan proses transformasi budaya dengan mengambil unsur-unsur yang berarti dari bangsa-bangsa seperti Spanyol, Portugis,Belanda,Inggris dan bangsa-bangsa eropa lainnya.Unsur-unsur tersebut antara lain mencakup religi,organisasi kemasyarakatan,pengetahuan,bahasa,kesenian,mata pencarian hidup dan teknologi. Unsur-unsur yang sekarang kita kenal sebagai unsur-unsur kebudayaan yang universal. Proses pengambilan unsure-unsur kebudayaan universal ini terbukti bisa menjadikan bangsa-bangsa yangada di Sulawesi Utara sanggup bertahan dari hantaman gelombang zaman. Proses transformasi budaya ini bisa dilakukan karena kondisi masyarakat Sulawesi Utara yang bersifat terbuka dan kritis.
Tentu saja proses ini tidak senantiasa berjalan lancer, sebab di era orde baru terbukti juga bahwa Sulawesi Utara ternyata mengalami kemunduran. Kemunduran ini terutama nampak dalam kebudayaan dengan menurunnya daya cipta manusia. Pembangunan orde baru yang lebih memusatkan pada pembangunan ekonomi ternyata mengakibatkan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam. Dan dalam bidang politik, proses sentralisasi politik justru mengakibatkan terjadinya degenerasi.

III

Tapi situasi ini ternyata juga tidak bertahan selamanya, beberapa tahun sebelum kekuasaan orde baru berakhir, Sulawesi utara mengalami perkembangan yang begitu berarti bukan saja pada pembangunan infrastruktur dan ekonomi tapi terlebih dalam bidang kebudayaan.
Gerakan kontra kultura yang muncul di kampus pada sekitar akhir tahun 1994, telah mengajarkan bahwa kita harus bisa memilih untuk melakukan perlawanan dari pada terus berdiam diri-tertindas. Sejarah kemudian membuktikan bahwa pilihan ini tidak keliru. Perubahan itu ternyata mungkin.
Agama bukan cuma soal sorga tapi juga kepedulian di dunia, kekuasaan tidak selalu terpusat bisa terbagi, kapital tidak selamanya berupa tanah atau barang tetapi juga bisa berwujud manusia dengan segala kemampuan kreatifnya. Bahasa bisa verbal bisa juga bahasa biner. Teknologi akan membantu kita menembus segala pembatasan.
Tahun 1995 di Sulawesi Utara menurutku adalah titik berangkat mulai terjadinya pergeseran secara khusus dalam seni dan kebudayaan. Dalam bidang Teater bisa dilihat bagaimana panggung telah bergeser dari dalam gedung pertunjukan ke jalanan. Dalam karya sastra, juga telah terjadi pergeseran sikap dan keberpihakan dalam tema-tema tertentu. Sebuah karya sastra tidak lagi ditulis untuk malanggengknan status quo tapi untuk perubahan. Dalam organisasi telah muncul basis-basis kebudayaan yang baru yang kemudian terbukti menghasilkan kader-kader seniman yang konsisten untuk menjalani proses kreatif dan mencapai hasil kreasi yang bernilai. Munculnya Fakultas Sastra Unsrat sebagai sebuah barometer kebudayaan alternatif misalnya. Dari Fakultas Sastra Unsrat muncul teater kronis, kontra, teater club, bengkel musik dan band-band pelopor lainnya.
Dalam rentang tahun 1995-Sekarang di sulut, telah muncul gerakan-gerakan alternative yang telah bermuara menjadi gerakan budaya yang sekarang dikenal dengan nama MAWALE MOVEMENT : GERAKAN MEMBANGUN TAMPA TINGGAL .
Gerakan budaya ini mencakup gerakan teater performance , gerakan musikalisasi puisi yang memadukan sastra dan musik rock, blues dan regge, gerakan sastra berbahasa melayu manado- sastra tepian pasifik, gerakan penerbitan buku dan media alternative, gerakan pembangunan basis kebudayaan diseluruh wilayah Sulawesi Utara dan gorontalo,dan gerakan internetisasi sastra dengan pembuatan blog sastra di internet serta pembuatan windows minahasa.
Apa yang telah dilakukan sejak tahun 1995 ini didasarkan terutama pada pilihan strategi menunggangi gelombang globalisasi. Dengan langsung berhadapan dengan kekuatan-kekuatan politik-ekonomi dan budaya dunia, Sulawesi Utara mau tidak mau harus meningkatkan diri melampaui batas-batas yang selama ini dipilihkan padanya oleh penguasa. Menjadikan potensi local kita mengglobal. Mengglobalkan lokalitas.


* Makalah disampaikan pada Seminar Lingkar Belajar Aksi (LIBERASI) 1
Diselenggarakan oleh Rumah Belajar Lipu’ Kobayagan pada senin, 28 juli 2008 di
Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Model Tuminting Manado

**Sastrawan dan Peteater. Dosen di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas
Sastra Unsrat

Tidak ada komentar: