Minggu, 18 Oktober 2009

ANALISIS ALUR ROMAN AROK DEDES KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

Oleh : Fredy M. S. B. Wowor, S.S*


PENGERTIAN ALUR

Menurut Kamus Istilah Sastra yang disusun oleh Panuti sudjiman, alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalani dengan seksama yang menggerakkan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan selesaian (Sudjiman, 1986:43).
Dalam bukunya yang berjudul,” Pengantar Apresiasi Karya Sastra”, Aminuddin mengatakan pengertian alur pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita (Aminuddin, 1987:83).
Tahapan-tahapan peristiwa dalam alur ini, pertama, tahap situation atau tahap perkenalan, kedua, tahap generating circumstance atau tahap pemunculan konflik, ketiga, tahap rising action atau tahap peningkatan konflik, keempat, tahap klimax atau tahap puncak dari konflik, kelima, tahap denoument atau tahap penyelesaian.
Adapun Boen Oemaryati mengatakan bahwa alur adalah struktur penyusunan kejadian-kejadian dalam cerita, tetapi disusun secara logis (Ali, 1967 :120).
Menurut M. Saleh Saad, alur adalah sambung sinambung peristiwa berdasarkan hukum sebab akibat. Alur tidak hanya mengemukakanapa yang terjadi tetapi yang lebih penting ialah menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Dengan sambung sinambungnya peristiwa ini terjadilah sebua cerita. Antara awal dan akhir cerita inilah terlaksana alur itu.(Mido,1994:41-42).
Berdasarkan pengertian-pengertian alur yang telah dikemukakan ini dapat disimpulkan bahwa alur adalah rangkaian kejadian yang disusun secara logis dalam tahap-tahap tertentu serta didasarkan pada hubungan kausalitas atau sebab akibat.

ANALISIS ALUR ROMAN AROK DEDES

Pada hakekatnya roman Arok-Dedes karya Pramoedya Ananta Toer ini mengisahkan perjalanan hidup Arok dari kecil sampai dewasa yakni sejak dia masih bayi dan beranjak dewasa sebagai penggembala kerbau di desa kemudian menjadi pemimpin pemberontak yang telah merepotkan pemerintah hinggaa menjadi prajurit di Tumapel. Di tempat inilah dia berkenalan dengan Dedes dan menjadi Akuwu setelah berhasil menggulingkan kekuasaan Tunggul Ametung.
Roman ini menceritakan pula perjalanan hidup Dedes, Putr Mpu Parwa yang diculik oleh Tunggul Ametung dan dipaksa menjadi Paramesywari di Tumapel serta peranannya dalam meruntuhkan kekuasaan Tunggul Ametung di Tumapel.
Berdasarkan riwayat hidup Arok dan Dedes inilah pengarang menjalinkan proses perubahan social yang mendasar dan radikal yang terjadi di Tumapel.
Cerita ini dimulai dari tahap pemunculan konflik atau tahap generating circumstance yakni pada saat dedes diculik dan akan diangkat menjadi Paramesywari di Tumapel. Ini dapat dilihat dalam kutipan berikut :

“Ia takkan dapat lupakan peristiwa itu pertama kali ia sadar dari pingsan. Tubuhnya dibopong diturunkan dari kuda, dibawa masuk ke ruangan besar ini juga. Ia digeletakkan di atas peraduan, dan orang yang menggotongnya itu, Tunggul Ametung, berdiri mengawasinya,. Ia tengkurapkan diri di atas peraduan dan menangis. Orag itu tak juga pergi. Dan ia tak diperkenankan meninggalkan bilik besar ini. Gedeh Mirah menyediakan untuknya air, tempat membuang kotoran dan makanan. Matari belum terbit. Ampu-lampu suram menerangi bilik besar itu. Begitu matari muncul masuk ke dalam seorang tua mengenakan tanda-tanda brahmana. Ia tak mau turun dari peraduan. Tetapi tunggul Ametung membopongnya lagi, mendudukannya di atas sebuah bangku yang diberi bertilam permadani. Ia tutup mukanya dengan tangan. Tunggul Ametung duduk di sampingnya. Orang dengan tanda-tanda brahmana itu telah menikahkannya. Hana edeh Mirah bertindak sebagai saksi. Kemudian Tunggul Ametung meninggalkan bilik bersama brahmana itu. Sejak itu ia tidak diperkenankan keluar dari bilik besar ini.
Semua berangung secara rahasia. Empat puluh hari telah lewat. Sekarang ini Gedeh Mirah meriasnya. Ia telah sampai pada riasan terakhir.”
(Toer, 1999:4)

Acara pengangkatan Dedes sebagai Paramesywari di Tumapel dilakukan setelah upacara penutupan wadad pengantin atau upacara brahmacarya. Pengangkatan ini dilakukan oleh Tunggul Ametung di depan rakyatnya Ini dapat dilihat dalam kutipa berikut :

“upacara penutupan brahmacarya telah selesai. Tunggul Ametung berdiri berseru pada rakyatnya :
“Demi Hyang Wisnu, pada hari penutupan brahmacarya ini, kami umumkanpada semua yang mendengar, pengantin kami ini, Dedes, kami angkat jadi Paramesywari, untuk menurunkan anak yang kelak menggantikan kami.”
Belakangka mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Terdengar sorak bersahut-sahutan.” (Toer, 1999:9-10)

Cerita ini berlanjut dengan bertemunya Tunggul Ametung dengan pemimpin pemberontak bernama Arok. Ini dapat dilihat dalam kutipan berikut :

“Tepat di bawah lereng terjal Tunggul Ametung berhenti. Ia tertawa dalam hati diperingatkan untuk balik. Dari pengalaman ia tahu, pohon di belokan jalan sana itu jatuh arena ditebang. Perusuh sedang pesta pora di desa selanjutnya. Beberapa kali dahuli ia sendiri telah merobohi jalanan dengan pohon untuk menghalangi pengejaran pasukan kuda Kediri.
Suatu gerak mencurigakan membikin ia memgangi hulu senjatanya. Ia angkat pandangnya ke tebing di samping kanannya. Di atas sebuah batu berdiri seorang berkumis sekepal. Berdestar hitam dan berpenutup dada hitam pula. Pada tanganya ia membawa trisula. Ia tahu benar itu bukan trisula untuk berkelahi, tapi untuk upacara keagamaan orang-orang Syiwa. Cawatnya berwara coklat dan Nampak sudah tua. Terompah tapas dikenakan pada kakinya.” (Toer, 1999 : 35)

Arok kembali ke padepokan Dang Hyang Lohgawe setelah Tunggul Ametung dan pasukannya pergi meninggalkannya. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut :

“Matari sudah hampir tenggelam ketika ia sampai di kebun buah Dang Hyang Lohgawe. Dihindarinya mahagurunya dan berjalan menepis mencari tempat air. Adalah tidak patut ditemukan dalam keadaan begini kotor. Setelah membersihkan diri ia berganti pakaian dan masuk ke pemondokan teman-temannya seperguruan.
Tujuh orang itu sedang sibuk menghadapi lontar menghafal paramasastra Sansekerta, ketahuan dari dengung ucapamn mereka perlahan.
“Tiada bapa menanyakan aku?” ia bertanya.
Semua mengangkat kepala. Dang Hyang Lohgawe tidak menanyakan. Mereka menyingkirkan lontarnya dan dengan pandang bertanya menatapnya.
“Dari mana saja engkau ? Mukamu sudah hitam biru begitu. Sudah lama kau tak belajar. Kau bisa di usir,” seseorang memperingatkan, “Biarpun ingatanmu mendapatkan pancaran dari sang Hyang Ganesya.”
Arok tak pernah belajar paramasastra Sansekerta. Untuknya setiap mata pelajaran terlalu mudah untuk disimpannya dalamingatannya.” (Toer, 46-47).

Adapun tahapan situation atu tahap pengenalan cerita dilukiskan dengan menggunakan sorot balik. Pada tahap pengenalan ini, pengarang terutama menceritakan masa lalu dari Arok dan Dang Hyang Lohgawe. Pada tahap ini pengarang juga melukiskan situasi di Tumapel pada masa pemerintahan Tunggul Ametung. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut :

“Peristiwa ini mendesak berita-berita hebat dari hamper dua bulan lalu yang menyebabkan penjagaan istana Tumapel dan selurh kotaraja diperketat. Berita itu adalah tentang Borang, seorang pemuda berprawakan kukuh, berani atau nekad, tanpa kegentaran. Ia muncul di tanah lapangan Bantar, setengah hari perjalanan di seelah barat Kutaraja. Dan orang dengan diam-diam mengagungkan dan membenarkan Borang, bahkan menganggapnya sebagai titisan Hyang Wisynu sendiri.
Bantar adalah sebuah dukuh di kaki gunung Arjuna, di pinggir jalan negeri yang menghubungkan Tumapel dengan Kediri. Pembangun dukuh adalah Ki Bantar. Beberapa tahun yang lalu ladang Bantar tidak tanah lapang seperti sekarang, karena Ki Bantar setiap musim kemarau menanaminya degan bawang merah. Seorang narapraja dalam perjalanan ke Kediri telah mengusirnya bersama semua keluarganya. Semua harta milik dan ladangnya dirampas oleh desa.
Di lapangan Bantar ini dua bulan yang lalu Borang muncul dalam terang cahaya bulan. Anak buahnya telah mengerahkan seluruh penduduk untuk berkumpul dan melingkarinya.
“Akulah Borang,” a memperkenalkan diri. “Mengapa kalian diam saja waktu Ki Bantar dan keluarganya diusir dari sini ? katakana padaku sekarang : Siapa yang bersuka hati karena kepergiannya?”
Penduduk yang menjadi waspada tidak menjawab. Siapa Borang, orang tak tahu. Selama ini banyak perlawanan terhadap Tunggul Ametung dan hamper semua telah dipatahkan. Boleh jadi Borang punggawa Tumapel, boleh jadi juga sebaliknya.” (Toer, 1999 : 16 – 17).

Berdasarkan kutipan ini dapat diketahui bahwa pemerintahan Tunggul Ametung tidak membawa kemakmuran bagi rakyatnya, tetapi justru sebaliknya membawa penderitaan. Salah satu penyebabnya adalah tindakan para aparat pemerintahnya yang sewenang-wenang merampas tanah milik rakyat. Tindakan semena-mena seperti ini telah menimbulkan keresahan dan perlawanan rakyat di Tumapel.
Adapun masa lalu darikehidupan Arok dapat dilihat dalam kutipan berikut ini :

“Isi catatan itu lebih kurang sebagai berikut :
Pada suatu sore yang suram dengan gerimis tipis datang ke perguruan Tantripala dua orang bocah, Temu danTanca. Guru itu bertanya :
“Siapa yang menyuruh kalian belajar kemari ?”
“Bapa Bango Samparan.”
Siapa yang tidak mengenal nama Bango Samparan ? Seorang penjudi yang lebh sering ditemukan di tempat perjudian dai pada di rumah ? Seorang penjudi yang mengirimkan bocah-bocah untuk belajar !” (Toer, 54 – 55).

Berdasarkan kutipan ini dapat diketahui bahwa Arok dikirim oleh bango Samparan yang merupakan orang tua pungutnya untuk belajar pada perguruan Tantripala.
Adapun kehidupan Arok sebelum diangkat anak oleh Bango Samparan dapat dilihat pada kutipan berikut ini :

“Kini untuk pertama kali ia hendakmenilai masalalunya sebelum jadianak pungut Ki Bango Samparan….
Ki Lembung ! Dialah yang pertama-tama di dunia ini yang ia kenal sebagai pengasihnya. Menurut ceritanya, dialah juga yang menemukan dirinya sebagai bayi, dibuang oleh orang tuanya di gerbang sebuah pura desa….
Bayi itu diserahkan pada istrinya….
Arok tidak pernah tidak merasa berterima kasih bila mengenangkan suami istri petani di Randu Alas itu. Merekalah yang membesarkannya tanpa pamrih. Menginjak umur enam tahun ia sudah terbiasa bergaul dengan kerbau, memandikan dan menggembalakan. Engiringnya ke sawah dengan Ki Lembung, memikul garu atau luku di belakangnya.
Memasuki uur sepuluh, ia mulai membantu bertani. Dan dalam perawatannya kerbau itu berbiak menjadi belasan.” (Toer, 1999 : 70 – 71).

Berdasarkan kutipan ini, dapat diketahui bahwa pada masa kecilnya Arok adalah anak yang dibuang olehorang tuanya dan ditemukan serta dipelihara oleh Ki Lembung dan istrinya di sebuah desa bernama Randu Alas.
Pada tahap pengenalan ini diceritakan pula riwayat singkat dari Dang Hyang lohgawe yang menjadi guru dari Arok. In dapa dilihat pada kutipan berikut :

“Setelah membacai naskah yang ditemukan dalam sebuah gua, yang tidak ditinggali, ia tak jadi bertapa….
Ia tinggalkan gua itu, turun dari gunung ke Tuban dan berlayar menuju ke Benggala. Ia bertekat hendak mencari rahasia kekuatan Buddha, mengapa sampai dapat mengalahkan kekuatan-kekuatan Syiwa.
Sampai di Langka ia berkenalan dengan seorang biksu Viriyasanti….
Dengan demikian ia tak jadi pergi ke perguruan tinggiNalandauntuk empelajari agama Budha Mahayana dan Tantrayana ataupun Mantrayana. Ia mempelajari Buddha Hinayana, mempelajari dari awal bahasa Pali. Lima tahun ia tingga di Langka, tidak pernah menjenguk perguruan tinggi nalanda, berkelana ke Colamandala Burma dan Campa, kemudian kembali ke Jawa.
Buddha Hinayana tidak pernah jadi keyakinannya. Jug Buddha Mahayana, tantrayana, Mantrayana. Ia tetap seorang Syiwa.
Kembali ke Jawa, di Kediri, ia beruasaha membangkitkan semangat rekan-rekannya untuk mendudukan kembali Hyang mahadewa Syiwa pada cakrawatinya ang sesungguhnya. Dan bukan tanpa hasil. Lohgawe sudah mulai melihat kebangkitan Sywa, tinggal satu langkah lagi, dan ia sudah dapat mempengaruhi Sri Baginda Kretajaya. Tapi Mpu Tanakung adalah bentengbaginda yang tak dapat dilaluinya. Ia bahkan terpental jauh, menyelamatkan diri k Tumapel sekarang. Namun kaum brahmana tetap menghargainya. Dalam suatu sidang Brahmana barang tujuh tahun yang lalu telah dikeluarkan gelar Dang Hyang untuknya dan lohgawe sebagai sebutan untuk pribadinya yang tak jera-jera bekerja demi kemulian Hyang Syiwa. Juga untuk ketinggian dan keluasan ilmu yang dikuasainya. Sejak itu ia dipanggil orang Dang Hyang Lohgawe.” (Toer, 1999 : 130-132)

Roman ini memasuki tahap Rising Action atau tahap peningkatan konflik pada saat kaum Brahmana yang sementara bersidang mendengar bahwa Dedes putrid sahabat mereka Mpu Parwa telah diculik dan dipaksa menikah oleh Tunggul Ametung.
Peristiwa penculikan ini mendorong mereka menetapkan keputusan untuk menggulingkan kekuasaan Tunggul Ametung. Adapun orang yang mendapat tugas ini adalah Arok. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut :

“Menjelang penutupan telah dilahirkan jadi, bahwa peristiwa Dedes tidak akan terjadi lagi, bahwa itu adalah pengkhianatan terakhir atas kehormatan kaum Brahmana. Untuk itu kaum Brahmana mengakui kemestian untuk bertangan satria, dan bahwa satria itupun harus diperlengkapi dengan segala syarat kesatriaan. Semua untuk membangun kaki perkasa Nandi, dan dengan demikian ia bisa jadi kendaraan Hyang Mahadewa Syiwa di tengah-tngah cakrawatinya.” (Toer, 1999 : 162)

Konflik dalam cerita ini makin meningkat ketika usaha menggulingkan kekuasaan Tunggul Ametung ini makin mendekati pusat kekuasaan. Hal ini ditandai dengan berhasilnya Arok menyusup ke dalam pekuwuan Tumapel dengan menjadi prajurit atas bantuan dang Hyang Lohgawe dan bertemu dengan Dedes. Dalam pertemuan ini mereka memutuskan untuk bekerja sama menggulingkan kekuasaan Tunggul Ametung. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut :

“Dedes masuk ke bilik agung dengan tubuh mengggil. Begitu Arok menyatakan kesanggupan ia mengerti, ia telah ersekutu dengan pemuda itu
Untuk menjatuhkan Tunggul Ametung. Kesedaran, bahwa ia sedang menempa maker, dirasakannya suatu hal yang sangat besar dan tubuhnya kurang kuat menampung. Melintas wajah Mpu Parwa di hadapannya, ayah tercintanya ini mengangguk membenarkan. Kemudian melintas wajah Dang Hyang Lohgawe. Brahmana itu dilihatnya mengangguk membenarkan.” (Toer, 256-257).

Konflik ini terus meningkat dengan munculnya beberapa kelompok lain di sekitar kekuasaan Tunggul Ametung yang juga ingin merebut kekuasaan di tengah kekeruhan situasi politik di Tumapel. Kelompok-kelompok ini di samping berkonfrontasi dengan Tunggul Ametung juga berkonfrontasi dengan pihak Arok.
Kelompok ini antara lain kelompok Empu Gandring. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut :


“Dalam waktu cepat ia dapat ketahui ada tiga orang bekas jajaro telah menggarap lading Mpu Gandring. Di pabrik terdapat lima orang. Semua dimasukan Mpu Gandring sendiri.
Ia juga mengetahui Dadung Sungging, sering menemui Mpu itu, baik di pabrik maupun di rumahnya..
Arok memrintahakan seorang anak buahnya yang dianggapnya cerdas untuk mendekati Dadung Sungging, mendapatkan siapa-siapa saja emannya, dan didapatkannya jarring-jaring yang tidak begitu luas tetapi ketat.
Benar Dadung Sungging eorang anggota gerakan rahasia, dan sebua gerakan itu berpusat pada Mpu Gandring.” (1999:284)

Kelompoklain adalah kelompok yang dipimpin oleh Yang Suci Belakangka. Kelompokini ingin menempatkan kekuasaan Kediri langsung di Tumapel. Caranya denganmenggulingka kekuasaan Tunggul Ametung danmengangkat keluarga Sri Baginda sebagai penguasa di Tumapel. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut :

“Belakangka merasa puas dapat menggengam pasukan kuda Tumapel di dalam kekuasaan Kediri. Dalam waktu belakangan ini utusan-utusanya tak pernah mengalami gangguan atau hilang di tengah jalan. Ia selalu perintahakan utusan menempuh jalan utara yang bercabang-cabang , sehingga pencegatan dan penyusulan lebih mudah dapat dihindari, kecuali bila benar-benar kepergok.
Ia telah berhasil melumpuhkan sag pati dan para menteri. Mereka tinggal menjadi boneka-boneka yang patuh….
Ia telah mengisyaratkan pada Kediri agar sudra terkuat yang seorang satria dan bahwa waktu untuk itu telah hamper selesai. Bila kerusuhan-kerusuhan telah dapat dipadamkan, Tunggul Ametung sudah akan sangat lelah, dan keluarga sri Baginda dengan mudah akan dapatdi tempatkan di Tumapel.” (Toer, 1999:310-311)

Tahap klimaks atau puncak dari cerita ini adalah runtuhnya kekuasaan Tunggul Ametung di Tumapel akibat perlawanan rakyat yang diwujudkan dengan mobilisasi kekuatan rakyat ersenjata ke usat pemerintahan Tumapel di Kutaraja. Perlawanan ini di pimpin oleh seoranglelaki bernama Arok. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut :

“kini mereka mulai mengetahui, benar-benar pasukan besar Arok sudah datang menerjang kota dari tiga jurusan. Tak ada tempat yang mereka gunakan untuk berlindung. Asrama yang pada mula mereka gunakan untuk berkumpul, kini mereka tinggalkan lagi dalam keadaan bingung tanpa perwira tanpa tamtama. Mereka hanya bisa mengangkuti harta benda paling berharga, membela diri secara perorangan danmelarikan diri kea rah timur…. Daerah hutan belantara yang belum terjamah manusia.
Gelombang dari luar kota menguasai Kutaraja setapak demi setapak, meninggalkan prajurit-prajurit Tumapel bergelmpangan, dan mendesak terus Tunggul Ametung di Tumapel. Gedung pekuwuan terkepung rapat dengan tombak. Sorak parau makin menderu-deru, menggetarkan para tamtama yang kebingungan menunggu di pendopo. Kemudian orang melihat Kebo Ijo keluar dari bilik dengan pedang berlumuran darah….
Paramesywari didampingi oleh Arok dan dikawal oleh regu besar bertobak naik dari depan ke pendopo. Orang bersorak menyambut.” (Toer, 1999:390-391)

Berdasarkan kutipan ini, dapat diketahui bahwa Tunggul Ametung akhirnya mati dibunuh oleh kebo Ijo pada saat Kutaraja diserbu oleh pasukan dari Arok.
Cerita ini berakhir aau selesai dengan diangkatnya Arok sebagai Akuwu di Tumapel. Pengangkatan ini dilakukan di hadapan rakyat yang telah bersama-sama menggulingkan Tunggul Ametung. Pengangkatan ini
Dilakukan oleh Dang Hyang Lohgawe. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut:

“Aku, Dang Hyang Lohgawe, dengan petunjuk Hyang Mahadewa telah benarkan dia, Arok, menjadi Akuwu Tumapel, berilah hormat pada Akuwu baru ini….” (Toer, 1999:410)


KESIMPULAN


Berdasarkan uraian-uraian tentang tahap-tahap perkembangan cerita ini, dapat disimpulkan bahwa roman Arok-Dedes karya pramoedya Ananta Toer ini menggunakan alur sorot balik atau alur mundur.




DAFTAR PUSTAKA


Ali, L (Ed). 1967. Bahasa dan Kesusastraan Indonesia Sebagai

Cermin Manusia Indonesia Baru. Jakarta : Gunung Agung.


Aminuddin, 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar

Baru.

Mido, F. 1994. Cerita Rekaan dan Seluk Beluknya. Flores : Nusa Indah.

Sudjiman, P. 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta : PT Gramedia.

Toer, P. A. 1999. Arok Dedes. Jakarta : Hasta Mitra.



* Dosen Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra UNSRAT

Tidak ada komentar: