Minggu, 18 Oktober 2009

Catatan dari KARNAVAL SENI KEMERDEKAAN” EKSISNYA “KOMUNITAS SoeSUBE” KOHA

Oleh : Fredy Sreudeman Wowor
(Penyair, Peteater, Dosen Jurusan Sastra Indonesia fakultas Sastra UNSRAT)

Pada bagian akhir catatannya tentang “Launching sanggar Dodoku Wuwuk”, saudara Greenhill Weol, S.S. kembali lagi mengemukakan sebuah pertanyaan yang sangat berarti bagi proses Renaisance Kebudayaan di Minahasa maupun Sulawesi Utara sekarang ini. “Wuwuk sudah, mana dang tu Kawangkoan, Amurang, Tumpaan, Langowan, Tomohon, Aermadidi, Tonsea, Bitung, deng tu samua-samua ! Ada le ?”
Sebuah pertanyaan yang sagat berarti saya katakan, karena memang pembangunan kembali kebudayaan kita jelas meminta peran aktif dari semua pihak yang mau tidak mau harus berani berkepentingan untuk melawan proses dekadensi budaya yang terus menggerogoti kehidupan masyarakat kita di Minahasa maupun Sulawesi Utara secara keseluruhan.

Dan pertanyaan ini sekarang telah dijawab oleh sebuah komunitas bernama SoeSUBE yang berbasi di desa Koha. Komunitas yang antara lain dipelopori oleh Stevie Rampengan, Indry Suwu, Jenry Koraag (salah satu pentolan Teater Kronis Manado) dan pemuda-pemudi desa Koha ini menggelar sebuah event kebudayaan dengan nama “Karnaval Seni Kebudayaan”. Kegiatan ini dimulai dengan pembacaan puisi bahasa Manado yang melibatkan anak-anak berumur 9-15 tahun di balai pertemuan GMIM Koha. Acara berlanjut dengan kegiatan musik seperti menyanyi dan musik bambu serta festival disko tanah. Puncaknya mereka menggelar pementasan teater jalanan dan kegiatan performance lainnya pada tanggal 17 Agustus 2005.

Kegiatan ini melibatkan Pemuda GMIM Eben Haezer Koha, Mudika St. Dominiko Savio Koha, Pemuda GMIM Sion Koha, SD Inpres Koha, Pemuda GPdI Koha, SD GMIM Koha, SD Katholik Koha, Musik bambu Klarinet Harapan Sulut desa koha, Musik Bambu Klarinet Burung Nazar desa Koha, Musik Bambu badai Biru desa Koha, Teater KRONIS Manado, KONTRA Sulut, Teater Ungu Tondano, Teater Onethique Senduk, Forum Independen Peduli Sastra (FIP Sastra) Sulut, Rumah Seni Klabat Maumbi, sanggar Dodoku Wuwuk dan Studio X Sonder.
Menurut Stevie Rampengan yang pada kesempatan ini menjadi ketua panitia “Karnaval Seni Kemerdekaan” yang secara organisasional merupakan wakil ketua Komunitas SoeSUBE, kegiatan ini merupakan salah satu dari bagian program kerja komunitas. Kegiatan ini menurutnya telah mulai dipersiapkan sejak tiga bulan sebelumnya dan merupakan hasil dari diskusi-diskusi dan pertukaran pikiran yang telah dilaksanakan baik secara formal maupun informal sejak awal kemunculan komunitas ini di awal bulan Mei lalu. Saudara Jenry Koraag sebagai penasehat komunitas menyatakan bahwa kehadiran organisasi ini merupakan salah satu wujud dari kerja pembangunan basis budaya demi kebangkitan kembali kebudayaan Minahasa dan Sulawesi Utara secara keseluruhan.

“Apa yang telah dilakukan oelh saudara-saudara dari Komonitas SoeSUBE pada saat ini jelas makin menegaskan kenyataan bahwa sekaranglah waktunya bagi kita untuk memulai perlawanan terhadap dekadensi budaya yang kian menggerogoti kehidupan masyarakat dan mengadakan upaya Renaisance terhadap kebudayaan kita”. Demikian komentar saudara Alfrits Joseph Oroh selaku pembina sanggar Dodoku Wuwuk sekaligus pentolan Teater Ungu Tondano, Jeff “Toels” Tulandi pimpinan Teater Onethique Senduk dan tokoh Teater KRONIS Manado serta Greenhill Glanvon Weol selaku Koordinator KONTRA Sulut dan pembina Teater Bukit Hijau manado.
Hal penting yang ingin penulis catat pada kesempatan ini : Pertama, kehadiran komunitas SoeSUBE dengan event “Karnaval Seni Kebudayaan” ini sekali lagi kembali memancang tonggak bagi proses Renaisance kebudayaan Minahasa dan Sulawesi Utara secara keseluruhan. Kedua, Gerakan Membangun Lokalitas atau “Mawale Movement” yang bertujuan membangun peradaban melalui setiap wilayah diluar sentra ternyata masih terus mengalir baik itu bersifat diskusi terbatas maupun telah berwujud kegiatan pertunjukan dan pembangunan organisasi. Ketiga, peran para aktivis (pekerja) budaya untuk turun basis dan menggarap wilayah-wilayah yang selama ini dibatasi oleh wacana pusat dan pinggiran sangat dibutuhkan dan ini tentu saja membutuhkan para pekerja budaya yang berkualitas yang mau belajar, berkarya dan berorganisasi serta berani bergerak di setiap medan.

Akhirnya di penghujung tulisan ini penulis ingin melempar kembali pertanyaan : Sonder sudah ! Wuwuk sudah ! Koha sudah ! Mana tu Tondano ? Tonsea ? Kawangkoan ? Langowan ? Deng tu laeng-laeng ? Masi ada lei ?
Dari antara hembusan angin
Pete cingke di pertengahan bulan Agustus,
Touna’as. Metoop oka ke

Dimuat pada Harian Manado Post
19 Agustus 2005

Tidak ada komentar: